Judul buku : The True History Of Majapahit (1)
Pengarang : Gamal Kamandoko
Tebal Buku : 434 halaman
Penerbit : Diva Press
The True History Of Majapahit (1)
Antara Cinta, Keberanian, dan Pengkhianatan
Oleh : Ahmad Alwajih*
Mempelajari sejarah itu tidak membosankan dan membuat jenuh. Malah bisa menjadi kegiatan yang menyenangkan untuk mengisi waktu senggang di sela-sela kesibukan beraktifitas. Inilah rupanya yang hendak disuguhkan oleh Gamal Kamandoko melalui novel ini. Tak cukup menampilkan sejarah, novel ini juga dibaluri romansa eksotik ala kerajaan Jawa pada masa silam, sekaligus menampilkan semangat keberanian dan kepahlawanan, serta nuansa kelicikan dan pengkhianatan para manusia bermuka dua .
The True History Of Majapahit (1) adalah sepenggal kisah perjuangan Sanggrama Wijaya dalam membidani lahirnya kerajaan Majapahit. Tentunya perjuangan Sanggrama Wijaya tidak semudah membalikkan telapak tangan. Dengan dibantu oleh dua belas orang pengikut setianya berikut dukungan adipati Madura, Arya Wiraraja, bermacam-macam cara dan strategi harus ia tempuh hingga terpaksa untuk sementara waktu mengucapkan selamat tinggal pada kesenangan-kesenangan yang selayaknya dinikmati seorang pangeran muda.
Akar berdirinya kerajaan Majapahit sendiri bermula dari drama penaklukan kerajaan Kadiri terhadap Singasari. Disebutkan bahwa keruntuhan Singasari disebabkan oleh pengkhianatan Jayakatwang terhadap raja Singasari, Sri Kertanegara. Setelah Sri Kertanegara wafat di tangan Jayakatwang, maka resmilah Jayakatwang bergelar Prabu dan memusatkan kekuasaannya di Kadiri.
Sebenarnya Sri Kertanegara takkan semudah itu digulingkan Jayakatwang andaikata pasukan utama Singasari tidak berangkat ke Swarnabhumi untuk menyerbu kerajaan Darmasraya. Inilah rupanya sebentuk peluang menggembirakan bagi Jayakatwang sehingga ia berani menggempur Singasari yang sedang lemah kekuatannya. Singasari yang tak menyangka penyerbuan itu terpaksa mempertahankan diri dengan prajurit-prajurit seadanya. Termasuk di antara prajurit yang mempertahankan Singasari adalah Sanggrama Wijaya selaku menantu Sri Kertanegara. Karena kekuatan yang tidak berimbang, maka kemenangan ada di pihak Jayakatwang. Sampai-sampai Sanggrama Wijaya terpaksa lari menyelamatkan diri guna menyusun kekuatan baru, sementara salah seorang istrinya, Dyah Gayatri tertawan oleh pasukan Jayakatwang.
Dalam pelariannya, Sanggrama Wijaya merasa tindakan licik Prabu Jayakatwang itu harus diakhiri. Nusantara harus kembali ke pangkuan putra-putra Singasari dengan cara apapun. Melawan itu pasti. Namun tidak dalam bentuk benturan fisik secara langsung sebab tak mungkin melawan Kadiri dengan tenaga dua belas orang saja. Ia harus memikirkan taktik dan strategi yang lebih ampuh untuk menggulingkan kekuasaan Jayakatwang sekaligus merebut kembali kekasih hatinya. Berhasilkah upaya Sanggrama Wijaya itu ? Mampukah ia mengembalikan kehormatan Singasari yang telah runtuh? Temukan kelanjutan kisahnya pada novel ini.
Membaca halaman demi halaman, kita serasa menaiki mesin waktu. Alam pikiran kita seolah-olah tersedot ke masa silam dan menyaksikan sendiri tiap konflik yang dialami oleh Sanggrama Wijaya dan segenap pengikutnya. Berbeda dari buku-buku sejarah lainnya, sisi menarik dari novel ini terletak unsur kemanusiaan tiap tokoh yang teramat kental. Ada rasa cemas, bingung, takut, sedih, dan sebagainya ketika sang tokoh dihadapkan pada situasi sulit. Sebaliknya, rasa senang, haru, berani, dan semangat kepahlawanan pun muncul saat sang tokoh berupaya menumpas musuh-musuhnya.
Tak ketinggalan pula cerita cinta turut mewarnai novel ini meskipun tidak terlalu ditonjolkan. Namun tetap disampaikan dengan sudut pandang berbeda. ‘Bahasa-bahasa’ cinta Sanggrama Wijaya terhadap istrinya yang ditawan Jayakatwang, misalnya, kaya akan nuansa kearifan lokal dan tidak terkesan cengeng. Rasa cemburu dan sakit hati bukannya melemahkan kobaran perjuangannya, justru itu merupakan cambuk yang melecut untuk berjuang tak kenal lelah demi kembalinya sang pujaan hati.
Jika dilirik dari cara penyampaian penulis, plot cerita tampak mengalir lepas tetapi jelas sehingga pembaca tidak menemukan kesulitan untuk menyimaknya secara runtut. Di samping tidak bermewah-mewah dalam pemilihan kata-kata dan penggunaan bahasa, keterangan-keterangan singkat berupa catatan-catatan sejarah yang disertakan cukup membantu pemahaman pembaca terhadap sebuah peristiwa-peristiwa penting.
Satu hal yang perlu diperhatikan adalah betapa langkanya sastra ber-genre khas Indonesia. Terlebih lagi penulis yang mengangkat tema sejarah lokal. Di tengah-tengah belantara sastra bergaya pop atau ke-‘barat-baratan’, kehadiran novel ini bisa menjadi oase bagi penggemar sastra. Harapan kita, tentunya semoga makin banyak lagi sastrawan-sastrawan Indonesia yang menawarkan hidangan bacaan segar ala Nusantara bagi para penggemar sastra. .
*Penulis adalah Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Islam Indonesia