Rabu, 16 Maret 2011

Bahasa Gaul "Daerah"

Kata adalah salah satu jalan untuk menyampaikan pesan kepada orang lain. Dengan kata, pesan yang diterima komunikan akan lebih mudah dimaknai dan proses komunikasi lebih efektif. Tapi tidak menutup kemungkinan bahwa komunikasi verbal juga membutuhkan dukungan dari komunikasi nonverbal. Pasalnya, kata-kata yang diucapkan tanpa ekspresi wajah, kinesics, ataupun symbol-simbol lain, makna yang disampaikan akan sedikit lebih sulit diterima dan dimaknai oleh komunikator.


Tidak hanya itu, lingkungan social juga mempunyai andil yang cukup besar dalam konteks penyampaian dan penerimaan pesan. Apalagi jika sudah menyangkut budaya sehari-hari. Seperti yang diketahui bahwa Indonesia adalah bangsa yang mempunyai beragam budaya dan bahasa. Jangankan di seluruh Indonesia, wong yang seprovinsi saja sudah bisa dilihat perbedaan bahasa dan budayanya.

Salah satu ekspresi verbal yakni bahasa, mempunyai tempatnya sendiri-sendiri dalam masyarakat. Dari bahasa daerah sampai pada bahasa gaul yang semakin hari semakin banyak dan bertambah kosakatanya, dan dari cara memilih kata dan bahasa sampai cara menyampaikannya pun ada etikanya sendiri-sendiri. Dalam tulisan ini akan dibahas mengenai bahasa gaul yang semakin eksis di masyarakat, khususnya kawula muda. Yang akan diulas disini bukan bahasa gaul versi Debby Sahertian yang cenderung “Jakartasentris atau betawi” tetapi bahasa gaul “daerah” di beberapa kota di pulau Jawa.

Pertanyaan yang mungkin muncul adalah, “Mengapa memilih bahasa gaul daerah yang dibahas?” Alasannya sederhana. Karena bahasa gaul sendiri tidak hanya berkembang di Jakarta yang pada akhirnya “menasional”, tetapi ternyata di beberapa daerah di Indonesia mempunyai bahasa gaul mereka yang cukup unik dan menarik untuk dibahas. Alasan kedua adalah untuk mengetahui bagaimana bahasa dan kebiasaan yang digunakan oleh masyarakat khususnya kawula muda di daerah yang berbeda, dengan tujuan untuk lebih mengenal budaya mereka. Sehingga ketika suatu saat kita berkunjung ke tempat tersebut, minimal kita sudah mempunyai bekal untuk berkomuniaksi dengan budaya yang ada.

Bahasa gaul secara umum, pada awalnya merupakan bahasa prokem atau okem -sebutan gaul untuk kata “preman” setelah mendapat tambahan ko-. Mereka menggunakan kata-kata “rahasia” agar percakapan mereka tidak diketahui oleh orang lain. tetapi semakin sering dan semakin lama komunitas preman tersebut menggunakan kata-kata “rahasia” ini, maka lingkungan sekitarnya jadi paham maksud kata-kata tersebut. Akhirnya, kata-kata “rahasia” preman itu tersebar dan justru menjadi bahasa gaul. Begitu juga dengan bahasa gaul “daerah” yang kebanyakan juga berasal dari bahasa preman.

Inilah beberapa bahasa gaul “daerah” yang biasa dipakai oleh kalangan mudanya :

1. Di kota Malang

Di kota Malang, bahasa gaul yang digunakan adalah
 bahasa “walikan”. Dimana sebuah kata diucapkan dari suku kata dan huruf terakhirnya. Contohnya saya menjadi ayas, sate menjadi etas, sayangku menjadi ngayasuk, saya pulang sekolah menjadi ayas ngalup halokes, dan masih banyak lagi. Bahasa gaul tersebut sangat populer di kalangan kawula muda di kota Malang, baik kawula muda asli maupun para penuntut ilmu yang merantau di kota tersebut.



2. Di Yogyakarta

Bahasa prokem yang digunakan biasa disebut dengan bahasa “dagadu”. Kata “dagadu” sendiri merupakan salah satu hasil utak atik dari bahasa prokem di Yogyakarta yang mempunyai rumus sebagai berikut :

Aksara Jawa baris pertama diganti dengan aksara Jawa baris ketiga atau sebaliknya. Begitu juga dengan aksara Jawa baris kedua yang diganti dengan aksara jawa baris keempat atau sebaliknya. Aksara Jawa sendiri mempunyai urutan :

Ha na ca ra ka

Da ta sa wa la

Pa dha ja ya nya

Ma ga ba tha nga

Kata “dagadu” diatas jika diuraikan menggunakan rumus tersebut berarti “matamu”. Dimana kata “matamu” di Yogyakarta merupakan kata yang kasar. Begitu juga dengan kata “pabu” yang berarti “asu atau anjing”, kata ini jelas kata-kata preman karena memang merupakan bahasa yang kasar. Sapaan “dab” berarti “mas” dan menjadi sapaan yang cukup populer dari dulu hingga sekarang baik oleh dab-dab asli Yogyakarta maupun perantau. Silahkan coba sendiri memakai bahasa gaul ala Yogyakarta dengan rumus diatas. :)

3. Di Surabaya dan sekitarnya

Kota Surabaya dan sekitarnya memang terkenal dengan bahasa kasarnya (menurut orang-orang yang tidak menganut kebudayaannya). Mengapa? Karena orang-orang di Surabaya terbiasa memakai kata-kata –yang dianggap- kasar dalam komunikasi dan interaksi social sehari-harinya. Contohnya saja kata sapaan “cuk”. Di Surabaya dan sekitarnya ataupun untuk penganut kebudayaan ini, memanggil dengan kata tersebut tidak kasar atau tidak bermaksud menghina . hal ini disebabkan oleh kebiasaan mereka. Lain halnya jika kata tersebut digunakan di daerah Pacitan –daerah jawa timur bagian selatan (berbatasan dengan jawa tengah)- misalnya, sudah pasti orang yang dipanggil dengan kata tersebut marah. Karena sebenarnya, kata “cuk” berasal dari kata “diancuk” yang diplesetkan “jancuk” dan berarti “diperkosa”. Kata-kata preman ini mulai populer dan menyebar setelah sering dipakai sebagai kata sapaan di kalangan mereka.



Kemudian kata “jaya” yang dipakai di belakang sebuah kata dengan tujuan untuk mengartikan “sangat tau kemantapan”. Contohnya kata “mantap jaya” yang berarti “mantap sekali”, “lancar jaya” yang berarti lancer sekali. Kata “jaya” yang dipakai dengan arti tersebut mulai populer dan menyabar luas setelah munculnya film animasi karya Gathotkaca studio pada tahun 2007 yang berjudul “Grammar Suroboyo”.



Dalam film tersebut terdapat pesan, “event they have a harsh “grammar” but actually Suroboyo people is soo kind.” Dan juga, “don’t look Surabaya just from the Grammar.”



4. Di Pacitan

Pacitan, kota kecil di perbatasan jawa timur dan Jawa tengah lebih cenderung menganut kebudayaan ke arah Jawa Tengah, Yogyakarta dan sekitarnya. Di kota kecil ini terdapat juga bahasa gaul untuk masyarakatnya antara lain “oraritek” yang berarti tidak usah atau tidak perlu (kata oraritek hanya terdapat di Pacitan), kata “tek” yang berarti “kok”, dan “dangklengane” yang berarti penampilan tetapi dalam konteks kasar dan menganut system premanisme. Tapi kata “dangklengane” sudah mulai memudar karena semakin sedikitnya preman dan orang-orang yang menggunakannya. Dan sepertinya saat ini sudah tidak populer lagi kata “dangklengane” tersebut, atau mungkin orang tua kita yang masih mengenalinya.

Kata-kata dalam bahasa gaul daerah diatas hanyalah beberapa saja yang saat ini populer di kalangan masyarakatnya. Kemungkinan diluar masih banyak juga daerah yang menggunakan bahasa gaul khas daerah masing-masing. Setidaknya, untuk mengunjungi keempat daerah diatas kita sudah sedikit mempunyai referensi tentang kata-kata khas, bahasa gaul dan kebiasaan-kebiasaan disana. :)

artikel ditulis oleh Prastika Ratri Sumunar, mahasiswi Ilmu Komunikasi, UII, Jogja. ©raxanimasi.blogspot.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar